ketika masih kuliah di medan, saya memahami bahwa eksport suatu negara
itu sangat penting. semakin tinggi eksport suatu negara maka semakin
makin makmur lah negara itu. (dalam hal
ini eksport bahan jadi), dan semakin sedikit import suatu negara maka
semakin baiklah perekonomian negara itu. maka dalam hal ini, ekspor
harus lebih besar dari import. sehingga neraca pembayaran internasional
adalah surplus. teori yang mendasari pemikiran saya ini adalah teori
merkantilisme.
menurut
perspektif Prof Lin, merkantilisme adalah paham yang tidak sesuai dengan
keadaan ekonomi abad ke 21. negara yang menganut paham merkantilisme
akan mengalami dorongan inflasi yang kuat, walaupun nilai tukar mata
uang domestik mengalami apresiasi. Prof Lin menjelaskan, peran eksport
dan import sebaiknya seimbang. dalam artian, paham merkantilisme yang
mengupayakan eksport harus selalu lebih besar dari import tidaklah
selamanya benar.
saya tidak bisa sepaham dengan perspektif Prof
Lin pada saat itu, bahkan ketika Prof Lin mengatakan bahwa begitu
pentingnya indonesia bergabung dengan TPP (TPP adalah rencana perjanjian
dagang yang dirundingkan oleh Australia, Brunei, Chili, Kanada, Jepang,
Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat, dan
Vietnam pada Agustus 2013) , saya pun tak kunjung paham juga. satu
satunya yang mengganjal di benak saya adalah kemampuan daya saing
produsen lokal dan masyarakat seutuhnya belum mampu bersaing.
kemudian muncul pertanyaan seperti ini, SAMPAI KAPAN INDONESIA MENGHINDARI PERSAINGAN GLOBAL?
saya menjadi terdiam,
Liberalisme tidaklah selamanya mengerikan, jika disertai dengan minat
belajar yang tinggi. yang jauh lebih mengerikan adalah, kita menutup
diri untuk menghindaii persaingan global, bertujuan untuk melindungi
diri, dan pada akhirnya kita tidak pernah benar benar belajar, lebih
jauh lagi kita tidak pernah bebar benar siap.
KAPAN INDONESIA BENAR BENAR SIAP?
0 Comments